menyulap itik jd belibis goreng

MENYULAP ITIK JANTAN JADI BELIBIS GORENG

Sebuah tabloid yang mengkhususkan diri pada peluang usaha, pernah menampilkan tulisan utama tentang belibis (Dendrocygna javanica). Judul di halaman depan tabloid tersebut sangat menarik: "Terbuka Peluang Budidaya Belibis". Foto yang menghiasi sampul berupa pedagang belibis (burung) goreng yang memang banyak bertebaran di kakilima di mulut-mulut gang di Jabotabek. Sang wartawan tidak salah. Sebab setiap kali kita bertanya ke para pedagang itu, daging apakah yang mereka jual? Maka jawabnya pasti seragam: daging burung atau belibis. Kalau jumlah pedagang burung di jabotebek kita asumsikan minimal ada 200 orang, dan tiap pedagang paling sedikit mampu menjual 30 ekor burung per hari, maka dalam sehari harus ada 6.000 ekor belibis yang dipotong. Dalam sebulan diperlukan 180.000 ekor dan setahunnya harus siap 2.190.000 belibis. Itu baru di kawasan Jabotabek. Belum di Bandung, Semarang, Yogya, dan Surabaya. Pertanyaannya, di manakah di Jawa ini ada belibis sebanyak itu? Sebab belibis sebagai burung liar, hanya tersisa di beberapa danau, rawa serta telaga di dataran menengah sampai tinggi (500 – 2.000 m. dpl). Misalnya di telaga Warna dan telaga Pengilon di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Itu pun populasinya hanya puluhan ekor, dengan tingkat pertumbuhan yang stabil (zero population) bahkan minus.
Sebenarnya, yang dijual oleh para pedagang kakilima itu bukannya belibis atau burung, melainkan itik jantan yang digemukkan. Kalau pada hari Senin kita menunggu di Bandara Soekarno – Hatta, Cengkareng; bagasi pesawat yang datang dari Banjarmasin, tampak penuh dengan puluhan kotak (kardus) DOD (Day Old Duck = anak itik umur sehari). Anak itik jantan itu (itik alabio) datang dari Amuntai, Kab. Hulu Sungai Utara. Di Cengkareng kardus-kardus DOD itu akan didistribusikan  ke Tangerang, Senen dan Bekasi. Di sini, anak-anak itik itu dibagikan lagi ke peternak. Selain dari Cengkareng, DOD jantan itu juga datang dari Indramayu, Cirebon, Brebes dan Tegal; serta dari Mojokerto, Jatim. Oleh peternak, anak-anak itik jantan itu akan digemukkan dengan diberi pakan starter untuk ayam broiller. Beda dengan anak ayam broiller (Day Old Chick = DOC) yang perlu diberi indukan berupa lampu untuk penghangat antara 1 sd. 2 minggu, atau anak ayam kampung yang perlu  indukan antara 1 sd. 1,5 bulan; anak itik sama sekali tidak perlu indukan. Jadi pemeliharaannya sangat sederhana. Cukup asal ditaruh di tempat teduh dengan diberi pagar setinggi 40 sd. 50 cm. Kalau pedagang "burung" itu menjajakan burung goreng yang ukurannya sekepalan tangan bahkan lebih kecil lagi, lama penggemukannya hanya sekitar 1 minggu. Kalau ukurannya dua kepalan tangan maka proses penggemukannya sudah sekitar 2 minggu. Paling lama anak itik jantan ini hanya akan digemukkan selama satu bulan.
Di sentra-sentra pembibitan itik, agroindustri "itik jantan" ini memang merupakan bagian dari pendapatan peternak. Kalau telur itik konsumsi di tingkat peternak  harganya sekitar  Rp 600,- sd. Rp 800,- maka telur tetas harganya paling murah Rp 1.000,- per butir. Proses penetasan dilakukan dengan mesin tetas sederhana, teknologi keranjang sekam atau dierami entok (itik manila, serati). Prosentase telur menetas sekitar 80%. Hasilnya berupa DOD dengan porsi jantan betina 50% - 50%. DOD betina, bisa berharga sekitar Rp 4.000,- per ekor. Sementara DOD jantan hanya berharga Rp 1.500,- per ekor. Kalau kapasitas penetas itu 1.000 ekor per angkatan (28 hari), maka modal yang diperlukannya Rp 1.000.000,- untuk membeli telur. Beban listrik Rp 200.000,- Penyusutan mesin Rp 300.000,- Tenaga kerja Rp 150.000,- (per bulan Rp 600.000,- untuk 4 angkatan). Total modal yang dikeluarkan Rp 1.650.000,- Pendapatannya 400 ekor (50% dari 80%) X Rp 4.000,- = Rp 1.600.000,- ditambah pedapatan dari DOD jantan 400 ekor X Rp 1.500,- = Rp 600.000,- Kalau dalam satu bulan dia bisa menurunkan empat angkatan @ 800 ekor DOD, maka pendapatan bersihnya Rp 2.400.000,- per bulan.
Selanjutnya, DOD betina akan dibesarkan sampai menjadi itik dara yang akan dipelihara sebagai penghasil telur konsumsi. DOD jantannya akan digemukkan paling lama satu bulan dan selanjutnya akan dipotong untuk dijajakan di kakilima sebagai burung atau belibis goreng. Kapasitas produksi DOD di sebuah sentra pembibian itik, rata-rata mencapai ribuan ekor per hari. Total produksi dari seluruh sentra utama, mencapai puluhan ribu ekor per hari. DOD jantan itulah yang mensuplai pedagang burung serta belibis goreng di Jabotebak serta kota-kota besar lain di pulau Jawa. Daging "burung" serta "belibis" goreng ini pasti enak dan sekaligus sangat empuk. Sebab umurnya paling tua satu bulan. Beda dengan itik afkir yang umurnya sudah di atas dua tahun dan beda juga dengan daging burung serta belibis asli  (burung liar) yang pasti alot serta amis. Meskipun suplai DOD jantan ini mencapai ribuan ekor per hari, namun keseimbangan antara permintaan dengan pasokan masih timpang. Kalau DOD dari Hulu Sungai Utara, Kalsel pun sampai diterbangkan ke Jakarta, berarti pasokan dari sentra-sentra itik di Jawa, terutama dari Cirebon dan Mojokerto memang masih kurang.
Kalau kita amati distribusi DOD jantan ini di kawasan Senen tiap hari Senin, maka tampak bahwa pembagiannya berdasarkan kuota. Peternak A minggu ini dapat jatah satu kardus. Peternak B dua kardus, peternak C 0,5 kardus dan seterusnya. Kadang-kadang itik baru dipelihara satu minggu, pedagang burung goreng itu sudah datang dan memaksa agar dagangan itu segera dilepas, sebab dia sudah tidak punya stok. Permintaan yang selalu lebih besar dari pasokan ini tidak akan pernah bisa tertanggulangi apabila agroindustri DOD jantan ini hanya mengandalkan kegiatan peternakan itik untuk menghasilkan telur tetas. Sebab kapasitas peternakan yang ada, lebih mengacu untuk menyeimbangkan kebutuhan telur itik guna memenuhi permintaan industri telur asin serta martabak. Para pengusaha roti dan kue, rata-rata saat ini sudah beralih ke telur ayam ras yang lebih murah. Kualitas telur ayam ras yang kadar airnya tinggi, diatasi dengan pemberian pengembang lebih banyak. Hanya pengusaha roti serta kue papan atas sajalah yang sekarang masih mengandalkan telur itik. Karenanya, peningkatan permintaan DOD jantan untuk memasok pedagang burung serta belibis goreng tidak akan pernah bisa terpenuhi.
Akan lain halnya kalau untuk memenuhi kebutuhan DOD jantan itu diatasi dengan subtitusi entok dan itik peking. Dua jenis itik ini memang dipelihara bukan untuk menghasilkan telur, melainkan daging. Kesukaan etnis Cina terhadap daging itik  luarbiasa, hingga agroindustri itik peking berkembang di mana-mana. Selain untuk memproduksi daging, peternakan itik peking ini juga menghasilkan bulu untuk pengisi bantal, guling, jok kursi serta untuk industri shuttle cock. Beberapa waktu yang lalu pernah ada permintaan entok umur 4 bulan sampai ribuan ekor per minggu, untuk substitusi kebutuhan itik peking yang selama ini juga kekurangan pasokan. Permintaan itu tidak pernah bisa tergarap dengan baik. Padahal memelihara entok bisa dilakukan dengan sangat mudah dan juga murah, jika dibandingkan dengan pemeliharaan itik petelur atau itik peking. Meskipun usaha ini hanya merupakan substitusi, namun harus dilakukan dengan profesional secara massal. Sebab kebutuhan per harinya sudah mencapai ribuan. Kalau substitusi yang diharapkan 200 ekor entok per hari misalnya, maka dalam satu minggu sudah diperlukan 1.400 ekor, dalam sebulan sudah 6.000 ekor. Untuk menghasilkan entok muda sebanyak itu, diperlukan sebuat sistem peternakan yang mengadopsi agroindustri itik peking. Ada breeding dan ada pembesaran itik muda pedaging. Selain itu juga diperlukan seleksi dan pembesaran calon induk.
Entah mengapa, tidak ada satu pun pedagang burung dan belibis goreng itu yang menyajikan kepala serta cakar dari itik jantan muda tersebut. Mungkin hal ini untuk "menyembunyikan" fakta bahwa yang dijualnya hanyalah itik, bukan burung atau belibis seperti yang disebutkannya kepada semua pembeli. Asal-usul itik (bebek) jantan muda dijual sebagai burung dan belibis ini, tentu dimulai sejak kota Batavia tumbuh sebagai bandar besar. Di sini berkumpul berbagai etnis. Mulai dari Pribumi di Jawa sendiri (Sunda, Jawa), datang pula pribumi luar Jawa (Madura, Bali, Bugis, Melayu, Batak, Menado, Ambon dll). Lalu etnis asing seperti Cina, India, Arab dan Eropa. Hingga akhirnya terciptalah etnis "Betawi". Pada saat itu, Jakarta merupakan rawa-rawa. Nama rawa-rawa itu masih terabadikan sebagai Rawa Mangun, Rawa Buaya, Rawa Badak, Rawa Bangke (Rawa Bunga) dan Rawa Sari. Indikator lain adalah adanya nama-nama pulau (pulo) yang artinya, tempat tersebut dulunya dikitari air. Misalnya Pulo Gadung, Pulo Mas, Menteng Pulo, Kramat Pulo dll. Di perairan tersebut pasti banyak sekali burung "ayam-ayaman" (burung air) yang populasinya luarbiasa. Jenis burung ini disalahkaprahkan sebagi belibis. Masyarakat sering menangkap burung ini dengan jaring, karena itulah cara paling mudah. Daging burung itulah yang  kemudian digoreng serta dijajakan ke masyarakat Batavia.
Tahun 1950an, populasi burung ayam-ayaman di alam, masih cukup banyak. Sekarang ini pun, jenis burung ini masih bisa ditemukan satu dua di rawa-rawa di kawasan DKI. Misalnya di rawa-rawa di sekitar jalan tol Cengkareng. Tahun 1950an tersebut, penangkapan jenis burung ini dengan jaring masih dilakukan. Karena jumlah burung yang ditangkap tidak seimbang  dengan burung yang menetas (dilahirkan), maka akhirnya jenis burung ini pun tidak mungkin lagi ditangkap secara ekonomis. Padahal populasi manusia yang tinggal di Batavia yang kemudian menjadi Jakarta makin besar. Permintaan akan burung goreng itu juga makin tinggi. Tidak pernah jelas semenjak kapan, pedagang burung pun mulai mensubstitusi dagangan mereka dengan itik jantan muda. Ketika itu, agroindustri peternakan itik untuk menghasilkan telur konsumsi sudah mulai berkembang. Meskipun penetasan telur dalam pembenihan itik masih menggunakan cara alami dengan dirami entok. Karena yang akan dipelihara oleh peternak adalah itik betina. maka itik jantannya segera dijual untuk dipotong. Daging itik jantan muda ini memang sangat lezat. Itik jantan muda antara lain biasa dimasak opor, dipanggang atau digoreng. Seandainya daging itik ini dijual dengan sebutan itik goreng pun, sebenarnya konsumen di Jabotabek atau kota-kota besar lain di Jawa tetap akan menggemarinya. Di Kalsel dan Kaltim, itik bakar dan itik panggang merupakan menu yang cukup populer dengan tetap disebut itik. Tetapi di Jawa, para pedagang itik goreng itu masih tetap menawarkan dagangan mereka sebagai "burung" dan "belibis".

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

7 komentar:

Unknown mengatakan...

saya kira ini resepp...

service ac bsd

Unknown mengatakan...

Kontol

Cari tahu mengatakan...

Kalau daging burung kuntul, tiruanya apa?banyak juga pedagang ikan burung yang judulnya burung kuntul gurih empuk.
Padahal perburuan burung kuntul dilarang pemerintah.

Cari tahu mengatakan...

Terima kasih infonya tentang burung belibis yang ternyata,diplagiat dengan itik jantan muda.
Sangat bermanfaat infonya,thanks'

Unknown mengatakan...

Pe'a...itu berita apa apa broo kenapa lo suruh comment malah cerita sendiri otaknya di dengkul x ya ngga maksud...

Unknown mengatakan...

Butel

SolderKnight mengatakan...

pinteeeeer... bahasan yang enak untuk dibaca.. trims infonys

Posting Komentar